Terungkap! Jatah ‘Fee’ 4 Persen untuk Pejabat, Total Proyek Rp231,8 Miliar

MEDAN – Skandal mega korupsi proyek pembangunan jalan di Sumatera Utara (Sumut) dengan nilai total mencapai Rp231,8 miliar semakin terang benderang di Pengadilan Negeri (PN) Medan. Persidangan lanjutan yang digelar oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK mengungkap fakta mengejutkan mengenai besaran fee haram yang mengalir ke sejumlah pejabat.

 

Rincian Jatah Korupsi: 4% untuk Kepala Dinas

 

Dalam kesaksian yang dihadirkan, terungkap adanya sistem pembagian fee suap yang terstruktur. Para kontraktor, yang diwakili oleh terdakwa Akhirun Piliang (Dirut PT DNG) dan putranya, Rayhan Dulasmi Piliang (Dirut PT RNM), harus menyiapkan jatah bagi para pemangku kepentingan, termasuk kepada Topan Ginting, Kepala Dinas PUPR Provinsi Sumut yang menjadi salah satu tersangka utama.

  • Topan Ginting (Kadis PUPR Sumut) diduga menerima fee sebesar 4% dari nilai proyek.
  • Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) menerima jatah 1%.
  • Bahkan, untuk urusan administratif ‘klik’ e-Katalog, pejabat juga meminta 0,5% dari nilai proyek.

Pengaturan ini disinyalir dilakukan di beberapa pertemuan rahasia, termasuk di sebuah kafe di Medan, untuk merekayasa pemenang tender agar perusahaan milik Akhirun dan Rayhan selalu mendapat jatah proyek.

 

Pusaran Korupsi Meluas, Seret Pejabat Daerah

 

Nilai proyek yang dikorupsi ini mencakup pembangunan di dua klaster utama, yakni Dinas PUPR Sumut dan Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional (Satker PJN) Wilayah I Sumut.

Dalam upayanya menelusuri aliran dana, KPK terus memanggil puluhan saksi, termasuk pejabat aktif maupun mantan pejabat daerah. Pada pemeriksaan yang dilakukan di Kantor BPKP Sumatera Utara, KPK memanggil:

  • Wali Kota Padangsidimpuan (aktif dan eks).
  • Mantan Bupati Mandailing Natal.
  • Serta belasan pejabat Pokja PBJ di Setda Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kepala Dinas PUPR di tingkat kabupaten.

Kasus ini membuktikan betapa masifnya praktik korupsi dalam pengadaan barang dan jasa infrastruktur di daerah, di mana proyek jalan yang seharusnya dinikmati publik justru menjadi bancakan pejabat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *