HALLAW – Kathleen Brooks, Direktur Riset di perusahaan broker XTB, mengungkapkan bahwa Amazon menjadi perusahaan dengan jumlah pekerja H-1B terbanyak pada paruh pertama tahun 2025. Hal ini menunjukkan besarnya ketergantungan raksasa teknologi terhadap tenaga kerja asing berketerampilan khusus untuk menjaga inovasi dan operasional mereka tetap kompetitif di pasar global.
Berdasarkan data terbaru, Amazon berhasil mengantongi lebih dari 10.000 persetujuan visa H-1B hanya dalam enam bulan pertama tahun ini. Microsoft dan Meta masing-masing juga mencatatkan lebih dari 5.000 persetujuan, sementara Apple dan Google masuk dalam daftar lima besar perusahaan penerima visa terbanyak.
Menurut Brooks, fenomena ini sebenarnya bukan hal mengejutkan, mengingat perusahaan-perusahaan teknologi besar memiliki sumber daya finansial yang kuat untuk mendanai proses administrasi visa. Namun, ia juga menyoroti potensi dampak negatif bagi sektor lain. “Meski perusahaan-perusahaan ini punya uang untuk membayar visa, sektor lain yang juga bergantung pada visa H-1B mungkin kesulitan dengan rekrutmen di masa mendatang, misalnya sektor perawatan kesehatan dan pendidikan,” jelasnya.
Apa Itu Visa H-1B?
Visa H-1B merupakan izin kerja khusus yang diberikan pemerintah Amerika Serikat kepada tenaga kerja asing dengan keahlian tertentu, terutama di bidang teknologi, sains, dan penelitian. Setiap tahun, program ini menyediakan 65.000 visa reguler, ditambah 20.000 visa tambahan khusus untuk pemegang gelar akademik lanjutan dari universitas di AS.
Namun, tingginya permintaan membuat kuota ini selalu cepat habis. Kompetisi untuk mendapatkannya semakin ketat, terutama ketika perusahaan-perusahaan raksasa seperti Amazon atau Microsoft menyerap porsi besar dari kuota yang ada.
Dampak Lebih Luas
Dominasi perusahaan teknologi dalam perekrutan tenaga kerja asing lewat visa H-1B dinilai dapat memperlebar kesenjangan dengan sektor lain. Industri kesehatan, pendidikan, bahkan manufaktur berisiko mengalami kekurangan tenaga ahli, karena tidak mampu bersaing dalam biaya maupun kecepatan proses rekrutmen.
Kondisi ini juga dapat memicu perdebatan politik di AS terkait distribusi kuota visa dan apakah sebaiknya ada regulasi tambahan untuk mencegah ketimpangan antar-sektor.
Meski begitu, bagi perusahaan teknologi besar, strategi ini dianggap krusial. Mereka menilai tenaga kerja global adalah faktor utama dalam menjaga daya saing, mempercepat inovasi, serta mengisi celah keterampilan yang masih langka di dalam negeri.