KPAI Minta Waspadai Kejahatan Jalanan pada Anak Saat Ramadan

Jakarta – KPAI meminta seluruh pihak mewaspadai kejahatan jalanan selama bulan suci Ramadan. KPAI memandang fenomena perang sarung atau perang antarkelompok anak paling sering terjadi di bulan Ramadan.
Pengampu Kluster Kekerasan Fisik dan Psikis Anak KPAI Diyah Puspitarini menjelaskan, pada 2024, sebanyak 264 kekerasan fisik terjadi pada anak. Adapun tiga anak dilaporkan meninggal dunia akibat perang sarung.

“Menurut data yang terhimpun oleh KPAI pada tahun 2024 terdapat 264 kasus kekerasan fisik pada anak, dan 3 orang anak meninggal dunia akibat Perang Sarung pada bulan Ramadan, di tahun 2023 KPAI mencatat terdapat 5 orang anak meninggal dunia akibat Perang Sarung,” kata Diyah melalui keterangan tertulis, Senin (10/3/2025).

Lebih lanjut Diyah menjelaskan, temuan KPAI dalam pengawasan pada kasus kejahatan jalanan selama Ramadan antara lain perang sarung sering terjadi di malam hari usai salat Tarawih dan dini hari sebelum atau setelah sahur.

Kemudian, perang sarung juga kerap terjadi sat libur sekolah/akhir pekan. Kejadian tersebut juga terjadi di daerah dengan titik tertentu, yakni kondisi jalan sepi maupun tempat yang mendekati salah satu basecamp kelompok tertentu.

“Terdapat penggunaan benda dari mulai batu, gir, tongkat dan beberapa kasus ada yang membawa senjata tajam. Penggunaan kendaraan sepeda motor untuk mobilisasi ke titik kejadian,” jelasnya.

KPAI menyoroti patroli keamanan yang masih lemah. Kondisi ini, menurut dia, terlihat dari intensitas kejadian yang makin meningkat.

“Sosialisasi pencegahan belum maksimal, terutama belum optimal pelibatan organisasi pemerintah daerah sampai desa,” terangnya.

Di sisi lain, Diyah menyadari perhatian masyarakat saat ini tertuju pada kejahatan jalanan yang tak hanya menyasar anak sebagai korban, melainkan sebagai pelaku kejahatan itu sendiri. Meski begitu, KPAI memberikan sejumlah rekomendasi demi mencegah terjadinya kejahatan jalanan selama Ramadan.

Pertama, pemerintah pusat maupun daerah harus merespons adanya darurat kekerasan jalanan terhadap anak, baik sebagai korban maupun sebagai pelaku di Indonesia, dengan membentuk Regulasi Teknis yang langsung menyasar pada tindakan pencegahan dan penanganan kasus.

Lalu, ia meminta jajaran kepolisian hingga Bhabinkamtibmas dan Babinsa memaksimalkan pengawasan secara intensif pada jam rawan serta patroli pengamanan yang ketat agar kekerasan jalanan bisa dicegah dan ditangani sesuai prosedur yang berlaku. Ia juga menyarankan supaya pemuka dan tokoh agama memberikan imbauan dan edukasi tentang bahaya kejahatan jalanan melalui ceramah keagamaan di masjid ataupun pada pertemuan masyarakat.

Kemudian, pemerintah pusat wajib memberikan sosialisasi ke masyarakat mengenai pemberantasan kekerasan jalanan pada anak, dan menggerakkan peran forum anak yang ada di daerah sebagai pelopor dan pelapor. Di sisi lain, pemerintah daerah melakukan upaya pencegahan kejahatan jalanan pada anak dengan meningkatkan edukasi melibatkan PKK, PUSPAGA, PATBM, karang taruna, organisasi kemasyarakatan dan organisasi komunitas, dan lain-lain.

Lalu, pemerintah desa menggerakkan pos keamanan lingkungan (poskamling) dan pos ronda sampai di tingkat RT/RW.

“Anak sebagai korban, saksi dan pelaku membutuhkan rehabilitasi yang memulihkan, baik fisik, sosial, maupun mental, dan membutuhkan dukungan dari pemerintah pusat dan daerah serta seluruh peran serta masyarakat,” imbuhnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *