Layakkah Koruptor Dihukum Mati? | Catatan Demokrasi tvOne

 

Pendapat Fredrich Yunadi terhadap hukuman mati bagi koruptor ialah sangat tidak setuju, ada beberapa alasan yang bisa dikemukakan:

 

  1. Hak Asasi Manusia (HAM)

 

  • Hukuman mati bertentangan dengan prinsip hak untuk hidup yang dijamin dalam Pasal 28A UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).
  • Banyak organisasi internasional, seperti PBB dan Amnesty International, menolak hukuman mati karena dianggap kejam dan tidak manusiawi.

 

  1. Tidak Menjamin Efek Jera

 

  • Negara dengan hukuman mati, seperti Tiongkok, tetap mengalami kasus korupsi meskipun pelakunya dihukum mati. Sehingga terbukti hukuman an mati TIDAK MENGAKIBATKAN ADANYA EFEK JERA.
  • Studi menunjukkan bahwa hukuman berat bukan satu-satunya faktor yang mencegah seseorang melakukan korupsi. Faktor sistem pengawasan yang kuat dan transparansi lebih efektif dalam mencegah korupsi, generasi muda sudah sejak dini ditanamkan bahwa korupsi sangat memalukan keluarga dan pelaku korupsi harus dikucilkan oleh keluarga dsb.

 

  1. Potensi Kekeliruan dalam Penegakan Hukum

 

  • Sistem hukum di Indonesia masih memiliki banyak celah, termasuk kemungkinan salah tangkap dan rekayasa kasus.
  • Jika seseorang yang tidak bersalah dihukum mati, kesalahan itu tidak bisa diperbaiki, karena sudah mati apa yang diperbaiki ?

 

  1. Korupsi Bukan Kejahatan yang Bersifat Langsung Membunuh

 

  • Berbeda dengan terorisme atau pembunuhan berencana, korupsi tidak secara langsung menghilangkan nyawa.
  • Lebih tepat menghukum pelaku dengan pidana seumur hidup serta menyita seluruh aset hasil korupsi baik dari koruptor maupun keluarga sanak keluarga dan teman nya untuk dikembalikan ke negara. HUKUM BUKAN BALAS DENDAM.

 

  1. Hukuman Alternatif yang Lebih Efektif

 

  • Penyitaan total harta koruptor dan seluruh keluarganya baik yang didalam maupun diluar negeri, untuk mengganti kerugian negara.
  • Pidana seumur hidup tanpa remisi (pencabutan hak remisi harus dicantumkan dalam amar putusan), agar mereka merasakan akibat perbuatannya sepanjang hidup.
  • Dijatuhui sebagai Pekerja sosial, wajib bekerja sosial dengan menggunakan baju/kaos/rompi tertera ‘ SAYA KORUPTOR “ di fasilitas public, setiap hari tanpa ada hari libur, sebagai bentuk hukuman moral dan sosial.( ini wajib dicantumkan dalam amar putusan ).
  • Penyanderaan terhadap keluarga bergaris lurus terhadap Tersangka yang melarikan diri atau tidak memenuhi panggilan.

 

  1. Tindak Pidana Korupsi ditangani oleh semua Penyidik yang sudah ada dengan adanya Pengawasan Internal maupun eksternal yang SUPER KETAT

 

  1. Pembagian tugas dan wewenang yang jelas dan transparan:
  • Penyidik KPK : untuk kasus korupsi besar dan sangat serius  yang nilai kerugian negeri ( BUKAN POTENSI KERUGIAN NEGARA) diatas satu triliun rupiah.
  • Penyidik Kejaksaan : untuk kasus korupsi diatas 200 milyar dibawah satu triliun, termasuk korupsi yang timbul dalam internal Kejaksaan, instansi Pemerintah, badan-2 yang didirikan pemerintah termasuk BUMN, BUMD, Koperasi, Perbankan, OJK, Bank Indonesia, kantor pajak, bea cukai, kas negara.
  • Penyidik Kepolisian : untuk kasus korupsi sedang tapi masif dibawah 200 milyar, termasuk adanya Pungli/korupsi diinternal Polri, di Lembaga penegak hukum lainnya, Lingkungan instansi Pemerintah dan Badan-2 yang didirikan Pemerintah, termasuk BUMN, BUMD, Koperasi, Perbankan, OJK, Bank Indonesia kantor pajak, bea cukai, kas negara dan juga LSM, lembaga penyiaran, Lembaga riset,  
  • Penyidik PPNS disupervisi dan diawasi KORWAS PPNS Polri, untuk menyidik kasus-2 korupsi kecil yang nilainya dibawah 100 Milyar yang terjadi di Depertemen, pengurusan izin-2, Ilegal mining, finance / bank dengan system rentenir, penggadaian

 

  1. Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Panitera, Petugas Rutan & Lapas, Advokat, Markus, dan barang siapapun yang baik secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam penanganan kasus korupsi dan menyimpamg dari masing – masing SOP maupun sumpah Jabatannya dijerat dengan pasal yang sama yang dijatuhui hukuman kasus korupsi aquo .

KESIMPULAN Fredrich Yunadi

Daripada menerapkan hukuman mati, lebih baik memperkuat sistem hukum, meningkatkan transparansi, dan memastikan koruptor dan seluruh sanak keluarganya benar-benar kehilangan seluruh asetnya dan dikucilkan oleh masyarakat serta baik terhadap pelaku korupsi maupun seluruh sanak keluarganya betul betul tidak bisa menikmati apapun dari perbuatannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *