JAKARTA, 13 Oktober 2025 – Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun) memegang peranan krusial dalam menguji legalitas keputusan-keputusan pemerintah, termasuk yang berdampak pada lingkungan hidup. Namun, dalam menangani sengketa lingkungan, Peratun menghadapi tantangan serius yang berakar pada batasan prosedural dan kebutuhan akan keadilan substantif. Sebuah analisis mendalam menunjukkan bahwa dua isu utama—keterbatasan legal standing dan implementasi prinsip in dubio pro natura—masih menjadi ganjalan utama.
Keterbatasan Legal Standing Penggugat
Tantangan pertama yang sering ditemui adalah mengenai keterbatasan legal standing atau kedudukan hukum pihak yang berhak mengajukan gugatan. Berdasarkan hukum acara Peratun konvensional, gugatan hanya dapat diajukan oleh pihak yang merasa kepentingannya dirugikan secara langsung oleh keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang disengketakan.
Dalam kasus lingkungan, kerugian sering kali bersifat kolektif, berdampak pada masyarakat luas, bahkan lintas generasi. Organisasi lingkungan hidup (Non-Governmental Organization—NGO) atau komunitas adat yang secara moral berkepentingan menjaga kelestarian lingkungan sering kali kesulitan membuktikan kerugian langsung dan individual yang disyaratkan oleh undang-undang. Meskipun Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) telah memberikan kelonggaran legal standing bagi NGO, penafsiran majelis hakim di Peratun terkadang masih cenderung restriktif, kembali kepada ketentuan hukum acara umum, sehingga membatasi akses keadilan bagi pembela lingkungan.
Mendesak Keadilan Substantif Melalui In Dubio Pro Natura
Tantangan kedua berkaitan dengan filosofi pengambilan keputusan. Peratun didorong untuk tidak hanya berpegang pada legalitas formal sebuah KTUN, tetapi juga pada prinsip keadilan substantif dalam sengketa lingkungan. Di sinilah prinsip in dubio pro natura menjadi relevan.
Prinsip in dubio pro natura (dalam keraguan, putuskan untuk alam) adalah konsep hukum lingkungan yang mendikte bahwa jika terdapat keraguan ilmiah atau bukti yang tidak pasti mengenai potensi kerusakan lingkungan, keputusan harus diambil untuk melindungi alam. Prinsip ini mendesak Peratun untuk:
- Mengutamakan Perlindungan: Apabila ada konflik antara kepentingan ekonomi jangka pendek dan perlindungan lingkungan jangka panjang, keputusan harus condong pada perlindungan.
- Menerapkan Prinsip Kehati-hatian: Mengharuskan hakim untuk menolak KTUN yang berpotensi menyebabkan kerusakan lingkungan serius, meskipun bukti ilmiahnya belum 100% pasti (precautionary principle).
Namun, tantangannya adalah bagaimana hakim Peratun, yang terbiasa menguji legalitas formal administrasi, dapat secara efektif menerapkan prinsip substantif dan progresif seperti in dubio pro natura. Hal ini membutuhkan pelatihan khusus, pemahaman interdisipliner tentang ilmu lingkungan, dan keberanian yudisial untuk melampaui kerangka formal administrasi demi keselamatan ekosistem.
Kesimpulannya, modernisasi Peratun dalam sengketa lingkungan tidak hanya memerlukan amandemen peraturan, tetapi juga transformasi cara pandang yudisial agar sengketa lingkungan dapat ditangani dengan perspektif yang lebih luas, berpihak pada keberlanjutan, dan membuka pintu keadilan bagi seluruh elemen masyarakat yang berjuang demi lingkungan.