Menikahkan Anak Di Bawah Umur Karena Hamil, Bagaimana Tinjauan Hukumnya?

Menurut UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, definisi anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Istilah Married By Accident (MBA) mengacu pada perkawinan yang terjadi karena situasi terpaksa untuk menyembunyikan aib. Dalam hal ini, jika tidak ada kehamilan, perkawinan tidak akan terjadi. Masalah kompleks muncul ketika kehamilan terjadi pada anak di bawah umur yang sedang menjalin hubungan pacaran. Meskipun ini sering terjadi dalam masyarakat, menikahkan pasangan tersebut bukanlah solusi yang mengatasi masalah, melainkan hanya merupakan budaya yang tidak menyelesaikan masalah.
Menikahkan anak di bawah umur akan menghasilkan masalah baru, seperti membiarkan terjadinya pemerkosaan berulang kepada anak tersebut, meskipun anak tersebut mungkin setuju dengan hal itu. Masalah lainnya adalah risiko tinggi melahirkan dalam usia yang masih muda, serta kurangnya kesiapan secara ekonomi dan mental bagi anak yang dipaksa untuk menjadi ibu. Dalam hubungan antara pria dewasa dan wanita dewasa yang tidak terikat perkawinan dan tanpa paksaan, dikenal dengan istilah hubungan suka-sama-suka tanpa ada tekanan. Namun, hal ini berbeda dengan anak di bawah umur, di mana tidak ada istilah suka-sama-suka, tetapi hanya pemaksaan untuk melakukan hubungan seksual atau rayuan atau iming-iming agar anak setuju melakukan hubungan seksual dengan pelaku. Dalam Pasal 76 D UU No. 35/2014, diatur tentang larangan memaksa anak melakukan hubungan seksual dengan pelaku. Pasal tersebut menyatakan bahwa “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.” Ancaman hukumannya diatur dalam Pasal 81: “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun, serta denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,-.”
Di UU tersebut juga diatur tentang upaya untuk membujuk atau mempengaruhi anak agar mau melakukan hubungan seksual. Dalam Pasal 76 E, disebutkan bahwa “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.” Ancaman hukumannya diatur dalam Pasal 82: “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun, serta denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,-.” Tindakan hukum dapat dilakukan dengan melaporkan kepada polisi oleh orangtua /wali anak. Selama proses hukum berjalan, anak perlu mendapatkan pendampingan psikologi untuk memperbaiki kesehatan mentalnya dan membuka pikirannya agar siap menghadapi proses hukum yang akan mempidanakan pria tersebut. Selain itu, anak juga perlu diajarkan bagaimana menghadapi kehamilan dan proses melahirkan.
Orangtua dapat meminta bantuan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) atau Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) jika berada di daerah tersebut. Perkawinan pada usia muda rentan terhadap keretakan dan tidak menjamin keutuhan rumah tangga. Pernyataan “siap bertanggung jawab dan menikahi anak” biasanya hanya upaya pelaku untuk menghindari proses hukum yang akan dilakukan oleh orangtua anak. Namun, meskipun pria tersebut bertanggung jawab dan menikahi anak, secara hukum hal ini tidak akan menghapus pidananya. Karena perkara ini bukan merupakan delik aduan, siapa pun yang mengetahuinya dapat melaporkannya kepada pihak berwajib. Dalam hukum perlindungan anak, tidak ada konsep suka sama suka dalam konteks hubungan seksual seperti yang terjadi pada orang dewasa. Sebaliknya, orang dewasa seharusnya melindungi dan menjaga anak, bukan memanfaatkan ketidaktahuan anak dan menjadikannya pelampiasan seksual dengan dalih menjalin hubungan pacaran. Mari kita jaga anak-anak Indonesia, karena mereka adalah masa depan bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *